021-50633500 / 3922232

Bagaimana sih aturan terkait gratifikasi dalam Lembaga Pemerintahan, BUMN, Dan Perusahaan Swasta ?

Gratifikasi menjadi fokus utama dalam menjaga integritas dan transparansi dalam berbagai institusi tersebut. Dalam konteks lembaga pemerintahan, aturan gratifikasi bertujuan untuk mencegah praktek korupsi serta memastikan bahwa para pejabat publik bertindak secara adil dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas mereka. Sementara itu, dalam BUMN, pengaturan gratifikasi menjadi kunci dalam memastikan bahwa kebijakan perusahaan tidak terpengaruh oleh kepentingan pribadi, dan untuk menjaga agar operasional perusahaan tetap efisien dan berkualitas. Di sisi perusahaan swasta, aturan gratifikasi juga penting untuk memastikan kompetisi yang sehat dan menjaga reputasi perusahaan di mata publik serta pemegang saham. Dengan memahami dan menerapkan aturan gratifikasi secara konsisten, diharapkan dapat tercipta lingkungan kerja yang bersih, transparan, dan berintegritas di semua jenis lembaga.

Bagaimana aturan dalam Lembaga Pemerintahan terkait gratifikasi, pasal 28 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menegaskan bahwa setiap penyelenggara negara harus menjalankan tugasnya dengan integritas dan bebas dari korupsi. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) menetapkan prinsip-prinsip penting untuk tata kelola pemerintahan yang bersih, termasuk larangan terhadap penerimaan gratifikasi. Diharapkan tidak adanya kecurangan KKN dalam penyelenggaraan Lembaga Pemerintah untuk menumbuhkan citra yang baik dalam Masyarakat.

Di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), laporan penerimaan gratifikasi telah menjadi perhatian serius. Melalui ketentuan-ketentuan yang diatur di dalamnya, UU No 31 Tahun 1999 memberikan pijakan yang kuat bagi penegakan hukum terhadap pelaku korupsi di lingkungan BUMN, baik dalam hal penyelidikan, penuntutan, maupun pengadilan. Selain itu, UU ini juga mendorong transparansi, akuntabilitas, dan integritas dalam pengelolaan BUMN, sehingga menjadi instrumen penting dalam membangun tata kelola perusahaan yang baik dan menekan risiko korupsi yang dapat merugikan keuangan negara serta citra BUMN secara keseluruhan. Adapun sebagai referensi lain Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-2/MBU/03/2023 tentang Pedoman Tata Kelola dan Kegiatan Korporasi Signifikan Badan Usaha Milik Negara.

Di sektor perusahaan swasta, Pasal 22 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menekankan pentingnya menjalankan tata kelola perusahaan yang baik, yang mencakup pencegahan korupsi dan praktik-praktik yang tidak etis. Namun, ada perusahaan swasta yang masih terlibat dalam praktik penerimaan gratifikasi tanpa melaporkannya secara transparan. Hal ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga merugikan stakeholders perusahaan dan menciptakan ketidakpercayaan dalam hubungan bisnis. Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas juga mewajibkan direksi dan dewan komisaris untuk bertindak dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab, yang mencakup menjaga kebersihan dan ketertiban perusahaan dari praktik-praktik korupsi.

Dalam pelaksanaannya, sebagaimana dilansir katadata.co.id, KPK mencatat adanya 4.365 laporan gratifikasi sepanjang 1 Januari – 22 Desember 2022. Instansi yang paling banyak melapor adalah Kementerian Keuangan dengan jumlah 836 laporan. Jumlah laporan gratifikasi tersebut hanya 0,1 persen jika dibandingkan dengan jumlah ASN selaku penyelenggara negara pada tahun 2022, yang berjumlah sebanyak lebih dari 4 juta orang (Data Badan Kepegawaian Negara per 30 Juni 2022). Artinya dari 1.000 orang penyelenggara negara hanya 1 orang yang melaporkan penerimaan gratifikasi. Jika diasumsikan jumlah UPG sebanyak lebih dari 20 ribu unit (ekuivalen dengan jumlah entitas akuntansi pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2022) dan setiap UPG diasumsikan hanya menerima 1 laporan penerimaan gratifikasi selama tahun 2022, maka dari seluruh UPG yang ada hanya 21 persen yang menerima dan meneruskan laporan gratifikasi dari penyelenggara negara kepada KPK, dan 79 persen UPG tidak melaporkan atau melaporkan nihil/nol terkait adanya laporan penerimaan gratifikasi dimaksud.

Jika masih penerimaan gratifikasi yang menyeleweng dan tidak terlapor di lingkungan BUMN, Perusahaan Swasta, dan Lembaga Pemerintahan merupakan sebuah tanda tanya. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada pekerjaan yang harus dilakukan dalam memperkuat tata kelola perusahaan, meningkatkan kesadaran akan etika dan integritas, serta memperkuat penegakan hukum dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Hanya dengan langkah-langkah konkret dan komitmen yang kuat dari semua pihak, Indonesia dapat melangkah maju dalam menciptakan lingkungan bisnis dan pemerintahan yang bersih dan transparan.